Custom Search

Formula Bisnis

Anda ingin Berbisnis Forex/Saham dengan Modal Gratis ?

http://iklan.000webhost.com/images/marketiva.gif

Jumat, 10 Oktober 2008

Menggugat Indonesia?

Bendera Indonesia

“Oh, Indonesia?! I know Susi Susanti. A very good badminton player!” Seseorang setengah berteriak histeris di Stasiun Kereta Api Frankfurt ketika saya mengenalkan diri dari Indonesia. Tentu saja Susi Susanti yang
lebih dikenalnya karena orang ini adalah penggemar bulu tangkis. Cerita ini senada dengan kejadian sebelumnya ketika saya baru saja menyelesaikan presentasi di Oslo, Norwegia. “I know Hasjim Djalal very well. He is one of the veterans of the law of the sea from Indonesia.” Tomas Heidar, ahli hukum laut berkebangsaan Islandia ini tentu saja lebih familiar dengan Prof. Hasjim Djalal dibandingkan siapapun di Indonesia, karena reputasinya di bidang hukum laut yang tidak diragukan. Saya semakin teryakinkan bahwa “aku” lah sebagai anak bangsa yang bisa menjadi identitas bagi bangsa sendiri.

Di New York, saya bertemu dengan seorang gadis Thailand, Sampan Panjarat. Sejujurnya saya memiliki anggapan tersendiri tentang perempuan Thailand sebelumnya. Sampan adalah contoh warga bangsa yang mencitrakan bangsanya dengan sangat baik. Sampan tidak sekalipun pernah menjelekkan bangsanya di depan siapapun. Ceritanya selalu diisi dengan kebanggan, kekaguman dan kepuasan akan bangsanya. Tiga bulan bersamanya di gedung PBB, tanpa disadari telah mengubah persepsi saya tentang Thailand, terutama gadis Thailand. Memang tidaklah selalu negara, tetapi sang “aku” sebagai warga negara yang akhirnya bisa menjadi identitas dan membangun citra bangsa.

Saya ingat pidato menggugah dari Presiden India yang beredar di internet. Kira-kira presiden mengatakan, it is YOU who should do something for your country, bukan orang lain. Bangsa ini terdiri dari sekumpulan “aku” dan akulah yang harus berbenah. Ketika sang “aku” tiba-tiba bisa menjadi orang yang disiplin dalam antrian taksi di sebuah sudut kita Singapura, mengapa “aku” yang sama tidak bisa berbuat demikian di negeri sendiri? Benar memang, adalah sang “aku” yang, sekali lagi, bisa menjadi identitas bangsa dan
tidak selalu sebaliknya.

Dalam kesempatan lain saya bertemu dengan seorang kolega dari Filipina di Gedung PBB, New York yang sangat negatif akan bangsanya. Selain itu kolega ini juga berlaku ceroboh dan lambat dalam melakukan sesuatu. Cerita dan kondisi pribadinya menyempurnakan anggapan bahwa Filipina memang ada masalah. Senada dengan ini, kawan lain dari Cameroon berlaku serupa. Keluhan dan penghinaan terhadap bangsanya menegaskan kesan dan anggapan saya bahwa Afrika memang jauh dari maju dan jauh dari baik. Sekali lagi, satu orang memang bisa menciptakan kesan tentang sebuah bangsa.

Saya ingat ucapan para tetua di Bali. Jangan menghina orang tua, karena engkau akan menjadi anak orang hina. Jangan menghina sulinggih (pemuka agama) karena kamu akan jadi sisya (siswa/pengikut) sulinggih yang hina. Adalah diri ini yang menciptakan identatas sebuah komunitas tempat kita bernaung.

Ketika bersekolah di Australia saya bergaul dengan banyak sekali orang Indonesia. Banyak dari mereka yang kecewa terhadap Indonesia dan muak dengan segala macam ketidakadilan atau perlakuan tak semestinya yang mereka terima. Kini banyak dari mereka yang menjadi pembenci Indonesia, dan memutuskan untuk enyah dari bangsa sendiri dan hidup di negara tetangga. Ada yang bahkan sudah tidak bisa membedakan lagi mana Indonesia sebagai bangsa, dan mana pemerintah yang direpresentasikan oleh individu. Betulkah Indonesia, bangsa yang besar ini, yang harus dibenci dengan segala ketidaksempurnaan ini? Benarkah Indonesia, bangsa dengan 17 ribu lebih pulau ini, yang harus dihujat dan dihina atas segala ketidaknyamanan hidup yang terjadi? Saya bertanya dan bertanya lagi.

Bukankah sang ”aku” yang membangun citra sebuah bangsa? Kalau kebencian akan Indonesia ini karena sulitnya mengurus passpor di kantor imigrasi, Indonesiakah yang harus dipersalahkan? Kalau kebencian itu tumbuh karena sertifikat tanah yang tidak kunjung beres sebelum beberapa lembar uang seratus ribuan harus direlakan percuma, haruskah Indonesia yang dihujat? Kalau kebencian ini muncul karena macetnya Jakarta akibat transportasi yang mengenaskan, haruskah Indonesia yang dicaci maki? Kalau kebencian ini muncul karena uang beasiswa dari Dikti tidak kunjung turun sementara hidup di Heidelberg tidaklah murah, apakah kemarahan harus ditumpahkan kepada Indonesia? Malang nian nasib Indonesia ini yang harus menerima kebencian dan kemarahan dari banyak sekali orang. Tidakkah ada seseorang yang telah bersalah dan membuat semua ketidaknyamanan ini niscaya? Orang bisa saja berteriak bahwa ketidakbaikan ini sudah mengakar dan dia sudah menjadi budaya sebuah sistem besar, tidak mungkin diubah. Bukankah sistem besar itu dibangun dari individu-individu? Bukankah sang diri ini yang akhirnya menjadi identitas? Siapakah yang harus diperaslahkan kalau memang harus menyalahkan? Yang lebih penting, jika harus ada yang berbenah, siapakah yang harus berbenah?

Dalam ketidakmampuan saya menyimpulkan persoalan yang pelik ini, ijinkan saya mengutip lagu lama milik seorang sahabat bagi banyak orang, Iwan Falls. ”Lusuhnya kain bendera di halaman rumah kita, bukan satu alasan untuk kita tinggalkan” Dirgahayu Republik Indonesia ke-63.

Tidak ada komentar: