Custom Search

Formula Bisnis

Anda ingin Berbisnis Forex/Saham dengan Modal Gratis ?

http://iklan.000webhost.com/images/marketiva.gif

Kamis, 09 Oktober 2008

Belajar dari Krisis Keuangan

Leverage Ratio

Ada untungnya juga menjadi negara yang agak tertinggal dalam urusan pengelolaan keuangan. Penetrasi kartu kredit di Indonesia belum setajam di Eropa atau Amerika. Kita juga belum mengenal hipotek (mortgage). Masyarakat kita sendiri banyak yang masih suka bertransaksi secara langsung (tunai) ketimbang menggunakan kredit (utang). Ketika terjadi cuaca buruk seperti sekarang, pengaruhnya tidak akan terlalu berat.

Mari kita lihat data di atas. Deutsche Bank misalnya punya leverage ratio (total kekayaan/aset dibagi modal/ekuitas) di atas 50. Total utang yang dimiliki Deutsche Bank mencapai €200 milliar—-jumlah ini setara dengan 80% GDP (produk domestik bruto) negara Jerman. Tentu saja bila terjadi kekisruhan, Bundesbank atau bahkan pemerintah Jerman akan kesulitan membantu melakukan langkah-langkah stabilisasi.

Bank terbesar di Inggris, Barclays, punya leverage ratio di atas 60 dengan total utang senilai £1,3 triliun. Jumlah tersebut sudah melampaui GDP Britania Raya. Contoh lainnya, Fortis, punya leverage ratio “hanya” 33—-namun jumlah tersebut beberapa kali lebih besar daripada GDP Belgia. Di masa Pakto 88, Indonesia punya begitu banyak bank dengan utang yang menggunung. “Untungnya” terjadi krisis moneter yang kemudian memaksa arsitektur perbankan di Indonesia berubah menjadi lebih prudent dan konservatif.

Memang benar bahwa jumlah tersebut di atas tidak benar-benar akurat. Di negara-negara Eropa, definisi statistik dan standar akuntansi yang diterapkan bisa berbeda dengan di Amerika atau juga di Indonesia. Leverage ratio juga bukan indikator yang sempurna untuk menggambarkan risiko. Namun setidaknya ilustrasi di atas bisa menggambarkan betapa bahayanya utang bila dikelola secara serakah dan sembrono.

Sebenarnya ada banyak pelajaran dari krisis keuangan tersebut yang bisa kita ambil dalam pengelolaan keuangan individu dan rumah tangga. Misalnya, pernahkah Anda mencoba menghitung keuangan pribadi Anda? Berapa banyak utang (atau cicilan utang) yang harus dibayar dibandingkan dengan pendapatan bersih yang Anda peroleh? Apakah Anda yakin bahwa utang bisa Anda kelola tanpa mengganggu kehidupan Anda?

Jujur saja, melihat situasi belakangan ini sering membuat saya kuatir. Promosi kredit dilepas secara jor-joran. Orang bisa mengambil motor baru tanpa uang muka. Mobil juga bisa dibawa pulang hanya dengan DP beberapa juta rupiah saja. Belum lagi bila menghitung proses credit scoring yang sering diabaikan hanya demi mengejar target. Lebih parah lagi, kredit tersebut digunakan untuk hal-hal yang bersifat konsumsi, bukan untuk aktivitas produktif.

Saya pernah takjub melihat kernet bus di Jakarta mengantongi ponsel canggih berkamera, sementara salah satu eksekutif perusahaan terkemuka di Indonesia masih menggunakan ponsel lama sebesar batu bata. Saya juga geleng-geleng kepala melihat ada karyawan memaksakan diri mengambil kredit mobil BMW sementara bosnya hanya bermobil Corolla lawas. Agaknya ada yang salah dengan masyarakat kita dalam membedakan antara mana yang diinginkan dan mana yang diperlukan.

Daripada memaksakan diri untuk terlihat luar biasa, mengapa tak mencoba tampil sederhana dan apa adanya? Menurut saya, jauh lebih baik terlihat biasa-biasa saja daripada terlihat kaya (padahal sebenarnya tak punya apa-apa).

Tidak ada komentar: